BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Manusia dan kebudayaan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan,
sementara itu pendukung kebudayaan adalah makhluk manusia itu sendiri.
Sekalipun makhluk manusia akan mati, tetapi kebudayaan yang dimilikinya akan
diwariskan pada keturunannya, demikian seterusnya. Pewarisan kebudayaan makhluk
manusia, tidak selalu terjadi secara vertikal atau kepada anak-cucu mereka;
melainkan dapat pula secara horisontal yaitu manusia yang satu dapat belajar
kebudayaan dari manusia lainnya. Berbagai pengalaman makhluk manusia dalam
rangka kebudayaannya, diteruskan dan dikomunikasikan kepada generasi berikutnya
oleh indiividu lain. Berbagai gagasannya dapat dikomunikasikannya kepada orang
lain karena ia mampu mengembangkan gagasan-gagasannya itu dalam bentuk
lambang-lambang vokal berupa bahasa, baik lisan maupun tertulis.
Kebudayaan mengenal ruang dan tempat tumbuh kembangnya, dengan mengalami
perubahan, penambahan dan pengurangan. Manusia tidak berada pada dua tempat
atau ruang sekaligus, ia hanya dapat pindah ke ruang lain pada masa lain.
Pergerakan ini telah berakibat pada persebaran kebudayaan, dari masa ke masa,
dan dari satu tempat ke tempat lain. Sebagai akibatnya di berbagai tempat dan
waktu yang berlainan, dimungkinkan adanya unsur-unsur persamaan di samping perbedaan-perbedaan.
Oleh karena itu di luar masanya, suatu kebudayaan dapat dipandang ketinggalan
zaman (anakronistik), dan di luar tempatnya dipandang asing atau janggal.
Peneliti Sosial, Department of Anthropology University of Sussex, United
Kingdom mendefinisikan masyarakat sebagai suatu kumpulan individu yang memiliki
karakteristik khas dengan aneka ragam etnik, ras, budaya, dan agama.1
Setiap kelompok masyarakat mempunyai pola hidup berlainan, bahkan orientasi
dalam menjalani kehidupan pun tidak sama. Sebagai suatu unit sosial, setiap
kelompok masyarakat saling berinteraksi yang memungkinkan terjadinya pertukaran
budaya. Dalam proses interaksi itu, setiap kelompok masyarakat saling
mempelajari, menyerap, dan mengadopsi budaya kelompok masyarakat lain yang
kemudian melahirkan sintesis budaya baru. Dalam kajian antropologi, ada tiga
istilah untuk menjelaskan peristiwa interaksi sosial budaya, yakni sosialisasi,
akulturasi, dan enkulturasi. Ketiganya saling terkait, namun masih tetap bisa
dibedakan antara satu dan yang lain.
Dapat dikatakan, sistem persekolahan adalah salah satu pilar penting yang
menjadi riang penyangga sistem sosial yang lebih besar dalam suatu tatanan kehidupan
masyarakat, untuk mewujudkan cita-cita kolektif. Maka, pendidikan yang
diselenggarakan melalui-meskipun tidak hanya terbatas pada-sistem persekolahan
semestinya dimaknai sebagai sebuah strategi kebudayaan (lihat artikel Media
Indonesia, 9/11/2009). Dalam hal ini, pendidikan merupakan medium transformasi
nilai-nilai budaya, penguatan ikatan-ikatan sosial antarwarga masyarakat, dan
pengembangan ilmu pengetahuan untuk mengukuhkan peradaban umat manusia.
Dimulai dari pembahasan tentang suatu pernyataan hipotetis bahwa berbagai
persoalan di masyarakat seperti pengangguran, tidak dapat dilepaskan dari
keberadaan sistem pendidikan yang tidak "pas" dengan budaya
Indonesia. Untuk menemukan pendidikan yang berakar budaya bangsa perlu
dilaksanakan penajaman penelitian pendidikan. Namun dalam mencari pendidikan
yang berakar pada budaya bangsa tidak berarti bahwa pendidikan harus bersifat
ekslusif. Hal ini bertentangan dengan realitas globalisasi. Oleh karena itu,
pencarian pendidikan yang berakar pada budaya bangsa harus pula memahami
karekteristik pendidikan modern, bisa dileburkan pendidikan modern kedalam
kearifan budaya lokal.
Dalam melestarikan khazanah budaya Indonesia yang kaya diperlukan
kontribusi pendidikan untuk menjaga keberlangsungan budaya tersebut. Pendidikan
yang terbentuk bisa kita namakan pendidikan yang berlandaskan budaya atau
pendidikan yang responsif terhadap kebudayaan. Akan tetapi di sisi lain model
pendidikan kontemporer harus tetap diadopsi untuk menjamin kompetisi
pendidikan. Sehingga pendidikan yang terbentuk yaitu kolaborasi antara
kebudayaan dan modernisasi sistem pendidikan.
Namun yang menjadi persoalan penting yaitu memastikan fungsi pendidikan
bagi keberlangsungan budaya, menjaga budaya, dan mengembangkan budaya manusia
untuk kemajuan peradaban manusia. Sedangkan fungsi pendidikan untuk menyambut
modernitas itu akan berkembang dengan sendirinya seiring dengan bertambahnya
waktu dan berkembnagnya kebudayaan manusia. Oleh karena itu untuk mengetahui
fungsi pendidikan dalam kebudayaan yaitu dengan memahami peran penting
pendidikan bagi perkembangan budaya. Pendidiakan sebagi pilar kebudayaan dan
dari kebudayaan yang terbentuk itulah nanti akan mengembangkan pendidikan bagi
kesejahteraan rakyat Indonesia.
B. RUMUSAN MASALAH
Dalam mengidentifikasi
fungsi pendidikan dalam kebudayaan muncul beberapa pertanyaan terkait, yaitu:
1. Apa arti kebudayaan?
2. Bagaimana makna pendidikan berdasarkan kebudayaan?
3. Bagaimana hubungan antara pendidikan dan kebudayaan?
4. Seperti apa fungsi pendidikan bagi kebudayaan?
1. Apa arti kebudayaan?
2. Bagaimana makna pendidikan berdasarkan kebudayaan?
3. Bagaimana hubungan antara pendidikan dan kebudayaan?
4. Seperti apa fungsi pendidikan bagi kebudayaan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. ARTI KEBUDAYAAN
Selo
Soemardjan dan Soelaman Soemardi (1964: 113) menjelaskan bahwa kebudayaaan
adalah semua hasil karya. rasa, dan cipta masyarakat. Karya masyarakat
menghasilkan tekhnologi dan kebudayaan kebendaan (material culture) yang
diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta
hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat.
Rasa yang meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah-kaidah dan
nilai-nilai social yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan
yang luas. Agama, ideology, kebatinan dan kesenian yang merupakan hasil
ekspresi jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat termasuk di
dalamnya. Cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berfikir orang-orang yang
hidup bermasyarakat yang antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu
pengetahuan. Rasa dan cinta dinamakan pula kebudayaan rohaniah (spiritual atau
immaterial culture). Semua karya, rasa, dan cipta, dikuasai oleh karsa
orang-orang yang menentukan kegunaannya agar sesuai dengan kepentingan sebagian
besar atau seluruh masyarakat, sedangkan karsa yaitu mengasilkan kaidah
kepercayaan, kesusilaan, kesopanan dan hukum (Soerjono Soekanto, 1993: 189-90).2
B. MAKNA PENDIDIKAN
Pendidikan
bukan sesuatu yang hadir dengan sendirinya tanpa melalui diakektika sejarah.
Salah satu ilmu yang berkembang dari sejarah yaitu pedagogi atau yang sering
disebut juga dengan edukasi atau pendidikan. Perkembangan ilmu ini juga
sebenarnya telah ada sejak manusia memikirkan tentang dirinya di hadapan
dirinya, alam, lingkungan dan bahkan Tuhan. Tetapi secara perlahan, menjadi
suatu ilmu yang berdiri sendiri atau otonom. Nah dari penelusuran sejarah
pedagogi tersebut akan diperoleh makna pendidikan dari waktu ke waktu yang kian
berubah. Namun kita sedikit akan menukilkan bagaimana sejarah memaknai
pendidikan mulai dari zaman peradaban kuno sampai masa republik Romawi.3
1. Pendidikan Pada Masa Peradaban Kuno
Pada masa peradaban tua, tekanan utama pendidikan kepada manuasia ialah
bagaimana cara berusaha agar manusia tidak lupa akan segala norma yang berlaku
secara lisan di tengah-tengah masyarakat. Ini berlaku untuk semua peradaban
tradisional sebelum manusia mengenal alfabet (huruf-huruf). Dan cara yang paling
ampuh untuk mengatasi kelupaan ialah melalui cerita lisan yang diteruskan
kepada anak atau cucu, tentang segala aturan dan norma hidup, yang juga
“ditetapkan” secara lisan. Begitulah dari generasi ke generasi, manusia
mendidik generasi berikutnya dengan cara bercerita.
2. Pendidikan ala Homeros dan Hesiodos
Pada masa ini, pendidikan dibagi dalam 2 bagian, menurut Homeros dan
Hesiodos; yang semuanya berkembang di Yunani. Pendidikan ala Homeros (dalam
Illiad dan Odisea) menekankan pada menjadi manusia ideal. Manusia ideal adalam
manusia yang memiliki arete. Orang yang memiliki arete ialah orang yang
memiliki kekuatan fisik seperti keberanian dan juga kehebatan untuk meraih
kegemilangan dan hormat. Ini dicirikan dengan menang dalam perang, kuat, besar,
tampan, bicara sopan dan baik, punya nasehat yang masuk akal, kaya dan berkuasa
(ide kepahlawanan). Tujuan pendidikan ialah membuat manusia memiliki
kualitas-kualitas tersebut. Selain ada dua hal yang ditekankan juga dalam arete
yaitu: kemampuan dalam hal gymnastik dan musik, serta memiliki kebaikan dan
keindahan. Hal yang kedua yaitu pendidikan ala Hesiodos. Pendidikan yang
ditekankan Hesiodos ialah pendidikan yang membuat mereka yang dididik memiliki
visi popolis (visi publik-umum-masyarakat). Konsep arete dalam Homeros
berkembang dari ide kepahlawanan menjadi keutamaan dalam pergulatan hidup
sehari-hari yang dialami kaum tani. Dasar moralitas dalam arete Hesiodos ialah
keadilan dan kerja keras. Orang yang adil ialah orang yang bekerja keras. Kerja
keras adalah jalaan satu-satunya menuju kepada keutamaan.
3. Pendidikan di Sparta dan Athena (Yunani)
Pendidikan di Sparta (abad VIII – VI sm), mulai dari yang lebih humanis
kepada komunitaris yang anti demokrasi. Arete bukan lagi dipahami sebagai
serdadu yang mengutamakan semangat patriotisme, yang dilakukan secara bebas,
tetapi kegiatan pendidikan diambil alih oleh negara sebagai institusi
tertinggi. Sifat pendidikan menjadi sangat tiranis, totalitarian (sedangkan di
wilayah Atena, ciri pendidikan kepada masyarakat lebih demokratis, dialogis dan
menghargai individu). Memang arah dan tujuan pendidikan di Sparta ialah
keutamaan moral sebagai warga negara yang memiliki cinta secara total kepada
tanah air, menghargai nilai kekuatan dan kekerasan, mengutamakan latihan fisik
demi kesiapan tempur dan ketaatan total kepada tanah air (patria). Arete
kepahlawan Homerian berubah menjadi cita-cita cinta akan tanah air, kematian
demi membela tanah air adalah kematian yang indah dan membahagiaan.
Kepahlawanan dalam Homerian yang lebih aristokratis berubah menjadi
kepahlawanan yang sifatnya kolektif (demi orang lain-negara). Inilah awal dari
kebangkitan kebangsaan atau jiwa patriotisme yang luar biasa (arete patria).
Sedangkan pendidikan di Atena lebih menekankan keharmonisan. Tatanan sosial
tidak didominasi militer tetapi masyarakatlah yanag mengatur kehidupan polis
(kota-negara) melalui sebaauh tata sosial politik. Sipil diberi kekuasaan yang
sangat besar dan luas untuk mengurus negara dan polis. Arete Homerian yang
aristokratis mulai dipraktikan oleh setiap warga negara yang ingin berprestasi.
Ideal kepahlawanan dalam Homerian tidak lagi hanya milik seseorang tetapi
menjadi milik setiap warga polis. Persaingan kepahlawanan di medan tempur,
sekarang juga berubah menjadi persaingan dalam perlombaan di Olympiade.
Sekolah-sekolah yang sebelumnya milik keluarga bangsawan berubah menjadi milik
publik. Pada masa inilah muncul banyak ilmu pendidikan di sekolah: gimnastik,
musik, puisi, teater, dan sastra.
4. Pendidikan Menurut Para Filsuf dan Socrates
Pada sekitar abad ke-5 SM, pendidikan oleh para filsuf sangat menekankan
gaya bicara retoris. Manusia dididik untuk menjadi seorang retoris, kepandaian
dalam bicara atau berpidato. Orang dididik untuk mampu berbicara dengan baik
dan logis serta bijaksana. Mereka diajar untuk menyebarkan gagasan dan
pendapat, tata bahasa yang baik, teknik bicara serta retorika yang meyakinkan.
Tujuan pendidikan ialah mencetak para orator ulung. Karena itu arete berkembang
kepada yang sifatnya politis, arete politis, yang termanifestasi melalui
kemampuan retoris yang indah.
Lain dengan pendapat Sokrates. Sokrates menekankan pada “jiwa”. Pendidikan
harus mengantar manusia sampai kepada “penemuan jiwa” dan inilah yang sangat
sentral dalam diri manusia. Jiwa ini setelah ditemukan harus dipelihara. Jiwa
dilihat penting karena jiwa adalah sentral dari kegiatan berpikir, bertindak
dan menegaskan nilai-nilai moral. Orang yang mampu memelihara jiwa ialah orang
yang “mengenal dirinya sendiri”. Karena itu arete yang sebelumnya lebih
bersifat politis berubah menjadi arete yang lebih interior, lebih kepada
pengolahan dimensi moralitas manusia.
5. Pendidikan Menurut Plato
Pada dasarnya, Plato menekankan penndidikan untuk “mencetak seorang filsuf
pemimpin”. Kritik Plato kepada kepada pemikiran pendidikan sebelumnya: “mereka
yang menjalani pendidikan hanya untuk mengejar sukses, kehormatan, dan
popularitas ialah pendidikan yang tingkatnya rendah sekalai. Menurut Plato,
pendidikan yang dilakukan harus menghantar orang kepada pengenalan dan
penghayatan makna kebaikan dan keadilan serta kebenaran. Manusia harus mempau
memelihara keharmonisan dari jiwanya dengan cara memelihara keharmonisan
negara, kebahagiaan dunia dan kebahagiaan yang mengatasi dunia. Dan ini hanya
dapat dimilki oleh seorang filsuf. Seorang filsuf harus mampu memikirkan
kebahagiaan dunia dan yang mengatasi dunia serta mampu hidup dengan orang lain
dalam alam demokratis.
6. Pendidikan Menurut Isokrates
Isokrates ialah seorang guru yang sangat mulia di hadapan publik Yunani,
dalam hal budaya oratoris dan pendidikan tulisan. Ia mengajarkan beberapa teori
bahwa: kefasihan berbicara ialah hadiah alamiah, pengajaran tidak dapat
menyempurnakan alam, para siswa, hanya dalam kasus ini, dapat memahami dari
dosen yaitu sistem-sistem ide yaitu forma pembicaraan. Selain itu, Isokrates
juga memperkenalkan kurikulum pendidikan, yang di dalamnya mengatur sekolah
menengah atas yang mulai dibuka kepada publik dengan lamanya waktu 3-4 tahun
dan setiap kelas tidak lebih dari 9 orang.
Hal lain yang penting dalam pengaturan pendidikan ialah adanya
ensiklopedia, pembentukkan moral siswa melalui larangan-larangan atau
perintah-perintah praktis dari pengalaman dan studi tentang sejarah, retorika
diajarkan dengan peniruan, pentingnya praktek dialektika serta diterapkan ilmu
matematika di sekolah sangat penting.
Sokrates mengkritik bahwa paideia bukan ditentukan pada kedalaman opini
(kebenaran-kebenaran absolut) tetapi dalam paideia retorica. Untuk pembentukan
manusia, Isokrates mengembangkan sebuah konsep budaya dan formasi yang
direduksikan pada praktek-praktek sikap dan tingkah laku. Obyek-obyek
fondamental dari metode edukatifnya ialah: praktek nilai, keseimbangan dalam
hubungannya dengan masa depan, kebijaksanaan dan kerendahan hati, serta
keseimbangan interior (kedalaman jiwa manusia)
7. Pendidikan Pada Peradaban Helenistik – Yunani
Sekitar abad ke-4 sm, dimulailah peride Helenis, di mana kenudayaan Romawi
mulai masuk ke Yunani. Pertemuan kedua kebudayaan ini kemudian mempengaruhi
juga pendidikan di yunani. Idealisme manusia tidak hanya ditemukan dalam
individu (Yunani): dalam pemeliharaan jiwa Sokrates, dalam keterlibatan ala
Plato manusia yang memiliki arete adalah manusia yang berada dalam sebuah dunia
yang tergabung secara global melalui pelbagai macam kebudayaan dunia. Pemahaman
ini membuka kepada kepada ide humanitas. Akhirnya pendidikan pada masa ini
bergeser kepada pendidikan yang berciri humanitas. Inilah paideianya ala
Romawi. Pada masa ini juga muncul pelbagai displin ilmu seperi matematika
(Euklides), fisika (Arkhimedes), astronomi (Aristrakus), geografi
(Erastisfene), dll. Lewat kebudayaan helenis, paideia Yunani berubah menjadi
humanitas yang sedalam-dalamnya.
8. Pendidikan Pada Masa atau Peradaban Romawi dan Abad Pertama dari
Republik Romawi
Pada masa ini paideia Yunani mulai berkembang dan mempengaruhi pendidikan
di Romawi. Tekanan utama pada paideia Romawi yang baru (yang tidak ada
sebelumnya) ialah: peranan penting tadisi dan keluarga dalam pendidikan.
Pendidikan di Roma pada abad-abad sebelum masehi ialah dibentuk melalui
keluarga dengan cara menghormati apa yang disebut dengan mos maiorum dan sistem
pater familias. Materi dasar bagi pendidikan adalah seperti mengutamakan
kebaikan tanah air, la pietas (devosi), la fides (kesetiaan), la grafitas
(kualitas hidup) dan la constantia (stabilitas). Semua orang yang didik harus
diarahkan kepada manusia yang mempunyai keutamaan seperti 4 hal tersebut, dan
ini harus dibentuk sejak orang berada di dalam keluarga.
C. PENDIDIKAN DALAM LINGKUP KEBUDAYAAN
Pada dasarnya pendidikan tidak akan pernah bisa dilepaskan dari ruang
lingkup kebudayaan. Kebudayaan merupakan hasil perolehan manusia selama
menjalin interaksi kehidupan baik dengan lingkungan fisik maupun non fisik.
Hasil perolehan tersebut berguna untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.
Proses hubungan antar manusia dengan lingkungan luarnya telah mengkisahkan
suatu rangkaian pembelajaran secara alamiah. Pada akhirnya proses tersebut
mampu melahirkan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia. Disini
kebudayaan dapat disimpulkan sebagai hasil pembelajaran manusia dengan alam.
Alam telah mendidik manusia melalui situasi tertentu yang memicu akal budi
manusia untuk mengelola keadaan menjadi sesuatu yang berguna bagi kehidupannya.
Antara pendidikan dan kebudayaan terdapat hubungan yang sangat erat dalam
arti keduanya berkenaan dengan suatu hal yang sama yakni nilai-nilai. Dalam
konteks kebudayaan justru pendidikan memainkan peranan sebagai agen pengajaran
nilai-nilai budaya. Karena pada dasarnya pendidikan yang berlangsung adalah
suatu proses pembentukan kualitas manusia sesuai dengan kodrat budaya yang
dimiliki.
Oleh karena itu kebudayaan diturunkan kepada generasi penerusnya lewat
proses belajar tentang tata cara bertingkah laku. Sehingga secara wujudnya,
substansi kebudayaan itu telah mendarah daging dalam kepribadian
anggota-anggotanya.4
Uraian tentang pendidikan dan kebudayaan akan diterangkan dalam urutan
pembahasan dibawah ini.
1. Kepribadian dalam Proses Kebudayaan
Fungsi pendidikan dalam konteks kebudayaan dapat dilihat dalam perkembangan
kepribadian manusia. Tanpa kepribadian manusia tidak ada kebudayaan, meskipun
kebudayaan bukanlah sekadar jumlah kepribadian-kepribadian. Para pakar
antropologi, menunjuk kepada peranan individu bukan hanya sebagai bidak-bidak
di dalam papan catur kebudayaan. Individu adalah creator dan sekaligus manipulator
kebudayaannya.5
Di dalam hal ini studi kebudayaan mengemukakan pengertian “sebab-akibat
sirkuler” yang berarti bahwa antara kepribadian dan kebudayaan terdapat suatu
interaksi yang saling menguntungkan. Di dalam perkembangan kepribadian
diperlukan kebudayaan dan seterusnya kebudayaan akan dapat berkembang melalui
kepribadian–kepribadian tersebut. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa
pendidikan bukan semata-mata transmisi kebudayaan secara pasif tetapi perlu
mengembangkan kepribadian yang kreatif. Pranata sosial yang disebut sekolah
harus kondusif untuk dapat mengembangkan kepribadian yang kreatif tersebut.
Kebudayaan sebenarnya adalah istilah sosiologis untuk tingkah-laku yang
bisa dipelajari. Dengan demikian tingkah laku manusia bukanlah diturunkan
seperti tingkah-laku binatang tetapi yang harus dipelajari kembali
berulang-ulang dari orang dewasa dalam suatu generasi. Di sini kita lihat
betapa pentingnya peranan pendidikan dalam pembentukan kepribadian manusia.
Para pakar yang menaruh perhatian terhadap pendidikan dalam kebudayaan
mula-mulanya muncul dari kaum behavioris dan psikoanalisis Para ahli psikologi
behaviorisme melihat perilaku manusia sebagai suatu reaksi dari rangsangan dari
sekitarnya.
Di sinilah peran pendidikan di dalam pembentukan perilaku manusia. Begitu
pula psikolog aliran psikoanalis menganggap perilaku manusia ditentukan oleh
dorongan-dorongan yang sadar maupun tidak sadar ini ditentukan antara lain oleh
kebudayaan dimana pribadi itu hidup. John Gillin dalam Tilaar (1999) menyatukan
pandangan behaviorisme dan psikoanalis mengenai perkembangan kepribadian
manusia sebagai berikut.6
a. Kebudayaan memberikan kondisi yang disadari dan
yang tidak disadari untuk belajar.
b. Kebudayaan mendorong secara sadar ataupun tidak
sadar akan reaksi-reaksi perilaku tertentu. Jadi selain kebudayaan meletakkan
kondisi, yang terakhir ini kebudayaan merupakan perangsang-perangsang untuk
terbentuknya perilaku-perilaku
tertentu.
c. Kebudayaan mempunyai sistem “reward and
punishment” terhadap perilaku-perilaku tertentu. Setiap kebudayaan akan
mendorong suatu bentuk perilaku yang sesuai dengan system nilai dalam
kebudayaan tersebut dan sebaliknya memberikan hukuman terhadap
perilaku-perilaku yang bertentangan atau mengusik ketentraman hidup suatu
masyarakat budaya tertentu.
d. Kebudayaan cenderung mengulang bentuk-bentuk
kelakuan tertentu melalui proses belajar.
Apabila analisis Gillin di atas kita cermati, tampak betapa peranan
kebudayaan dalam pembentukan kepribadian manusia, maka pengaruh antropologi
terhadap konsep pembentukan kepribadian juga akan tampak dengan jelas. Terutama
bagi para pakar aliran behaviorisme, melihat adanya suatu rangsangan kebudayaan
terhadap pengembangan kepribadian manusia. Pada dasarnya pengaruh kebudayaan
terhadap pembentukan kepribadian tersebut sebagaimana dikutip Tilaar (1999)
dapat dilukiskan
sebagai berikut.7
a. Kepribadian adalah suatu proses. Seperti yang telah
kita lihat kebudayaan juga merupakan suatu proses. Hal ini berarti antara
pribadi dan kebudayaan terdapat suatu dinamika. Tentunya dinamika tersebut
bukanlah suatu dinamika yang otomatis tetapi yang muncul dari aktor dan
manipulator dari interaksi tersebut ialah manusia.
b. Kepribadian mempunyai keterarahan dalam
perkembangan untuk mencapai suatu misi tertentu. Keterarahan perkembangan
tersebut tentunya tidak terjadi di dalam ruang kosong tetapi dalam suatu
masyarakat manusia yang berbudaya.
c. Dalam perkembangan kepribadian salah satu faktor
penting ialah imajinasi. Imajinasi seseorang akan dapat diperolehnya secara
langsung dari lingkungan kebudayaannya. Manusia tanpa imajinasi tidak mungkin
mengembangkan kepribadiannya. Hal ini berarti apabila seseorang hidup terasing
seorang diri dari nol di dalam perkembangan kepribadiannya. Bayangkan bagaimana
kehidupan kebudayaan manusia apabila setiap kali harus dimulai dari nol.
d. Kepribadian mengadopsi secara harmonis tujuan hidup
dalam masyarakat agar ia dapat hidup dan berkembang. Tentunya manusia itu dapat
saja menentang tujuan hidup yang ada di dalam masyarakatnya, namun demikian itu
berarti seseorang akan melawan arus di dalam perkembangan hidupnya. Yang paling
efisien adalah dia secara harmonis mencari keseimbangan antara tujuan hidupnya
dengan tujuan hidup dalam masyarakatnya.
e. Di dalam pencapaian tujuan oleh pribadi yang sedang
berkembang itu dapat dibedakan antara tujuan dalam waktu yang dekat maupun
tujuan dalam waktu yang panjang. Baik waktu yang dekat maupun tujuan dalam
jangka waktu yang panjang, sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai hidup di dalam
suatu masyarakat.
f. Berkaitan dengan keberadaan tujuan di dalam
pengembangan kepribadian manusia, dapatlah disimpulkan bahwa proses belajar
adalah proses yang ditujukan untuk mencapai tujuan. Learning is agoal
teaching behavior.
g. Dalam psikoanalisis juga dikemukakan mengenai
peranan super-ego dalam perkembangan kepribadian. Super-ego tersebut tidak lain
adalah dunia masa depan yang ideal. Dan seperti yang telah diuraikan, dunia
masa depan yang ideal merupakan kemampuan imajinasi yang dikondisikan serta diarahkan
oleh nilai-nilai budaya yang hidup di dalam suatu masyarakat.
h. Kepribadian juga ditentukan oleh bawah sadar
manusia. Bersama-sama dengan ego, beserta ide, keduanya merupakan energi yang
ada di dalam diri pribadi seseorang. Energi
tersebut perlu dicarikan keseimbangan dengan kondisi
yang ada serta dorongan super-ego diarahkan oleh nilai-nilai budaya. Dengan
kata lain di dalam pengembangan ide, ego, dan super-ego dari kepribadian
seseorang berarti mencari keseimbangan antara energi di dalam diri pribadi
dengan pola-pola kebudayaan yang ada.
2. Penerusan Kebudayaan
Satu proses yang dikenal luas tentang kebudayaan adalah transmisi
kebudayaan. Proses tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan itu ditransmisikan
dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Bahkan banyak ahli pendidikan
yang merumuskan proses pendidikan tidak lebih dari proses transmisi kebudayaan.
Mengenai masalah ini marilah kita cermati lebih jauh oleh karena seperti yang
telah dijelaskan, kepribadian bukanlah semata-mata hasil tempaan dari
kebudayaan. Manusia atau pribadi adalah aktor dan sekaligus manipulator
kebudayaannya. Dengan demikian, kebudayaan bukanlah sesuatu entity yang
statis tetapi sesuatu yang terus-menerus berubah. Untuk membuktikan hal
tersebut marilah kita lihat variabel-variabel transmisi kebudayaan yang
dikemukakan oleh Fortes dalam Koentjoroningrat (1991).8
Di dalam transmisi tersebut kita lihat tiga unsur utama yaitu, (1) unsur-unsur
yang ditransmisi, (2) proses transmisi, dan (3) cara transmisi. Unsur-unsur
kebudayaan manakah yang ditransmisi? Pertama-tama tentunya unsur-unsur tesebut
ialah nilai-nilai budaya, adat-istiadat masyarakat, pandangan mengenai hidup
serta berbagai konsep hidup lainnya yang ada di dalam masyarakat. Selanjutnya
berbagai kebiasaan sosial yang digunakan dalam interaksi atau pergaulan para
anggota di dalam masyarakat tersebut.
Transmisi unsur-unsur tidak dapat berjalan dengan sendirinya. Seperti telah
dikemukakan manusia adalah aktor dan manipulator dalam kebudayaannya. Oleh
sebab itu, unsur-unsur tersebut harus diidentifikasi. Proses identifikasi itu
berjalan sepanjang hayat sesuai dengan tingkat kemampuan manusia itu sendiri.
Nilai-nilai yang dimiliki oleh seseorang harus mendapatkan pengakuan lingkungan
sekitarnya. Artinya perilaku-perilaku tersebut harus mendapatkan pengakuan
sosial yang berarti bahwa perilaku-perilaku yang dimiliki tersebut adalah yang
sesuai atau yang seimbang dengan nilai-nilai yang ada di dalam lingkungannya.
Rangkaian transmisi berangkat dari imitasi, identifikasi, dan sosialisasi,
berkaitan dengan bagaimana cara. Pada saatnya proses transmisi kebudayaan di dalam
masyarakat modern akan menghadapi tantangan-tantangan yang berat. Di sinilah
letak peranan pendidikan untuk mengembangkan kepribadian yang kreatif dan dapat
memilih nilai-nilai dari berbagai lingkungan. Dalam hal ini kita berbicara
mengenai keberadaan kebudayaan dunia yang meminta suatu proses pendidikan yang
lain yaitu kepribadian yang kokoh yang tetap berakar kepada budaya lokal. Hanya
dengan kesadaran terhadap nilai-nilai budaya lokal akan dapat memberikan
sumbangan bagi terwujudnya nilai-nilai global.
3. Pendidikan Sebagai Proses Pembudayaan
Seperti yang telah kita bicarakan mengenai transmisi kebudayaan,
nilai-nilai kebudayaan bukanlah hanya sekadar dipindahkan dari satu bejana ke
bejana berikut yaitu kepada generasi mudanya, tetapi dalam proses interaksi
antara pribadi dengan kebudayaan betapa pribadi merupakan agen yang kreatif dan
bukan pasif. Di dalam proses pembudayaan terdapat pengertian seperti inovasi
dan penemuan, difusi kebudayaan, akulturasi, asimilasi, inovasi, fokus, krisis,
dan prediksi masa depan serta banyak lagi terminologi lainnya. Beberapa proses
tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut:9
a. Penemuan atau Invensi
Dua konsep tersebut merupakan proses terpenting dalam pertumbuhan dan
kebudayaan. Hal itu mengingat tanpa penemuan-penemuan yang baru dan tanpa
invensi suatu budaya akan mati. Biasanya pengertian kedua terminologi ini
dibedakan. Suatu penemuan berarti menemukan sesuatu yang sebelumnya belum
dikenal tetapi telah tersedia di alam sekitar atau di alam semesta ini.
Misalnya di dalam sejarah perkembangan umat manusia terjadi penemuan-penemuan
dunia baru sehingga pemukiman manusia menjadi lebih luas dan berarti pula
semakin luasnya penyebaran kebudayaan. Selain itu, di dalam penemuan dunia baru
akan terjadi difusi atau proses lainnya mengenai pertemuan
kebudayaan-kebudayaan tersebut. Istilah invensi lebih terkenal di dalam bidang
ilmu pengetahuan.
Dengan invensi maka umat manusia dapat menemukan hal-hal yang dapat
mengubah kebudayaan. Dengan penemuan-penemuan melalui ilmu pengetahuan maka
lahirlah kebudayaan industri yang telah menyebabkan suatu revolusi kebudayaan
terutama di negara-negara barat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
begitu pesat telah membuka horizon baru di dalam kehidupan umat manusia. Ilmu
pengetahuan berkembang begitu cepat secara eksponensial sehingga apa yang
ditemukan hari ini mungkin besok telah usang.
Memanusia berarti membudaya. Dapat kita bayangkan bagaimana jadinya proses
memanusia dalam kebudayaan global. Hal ini berarti manusia akan kehilangan
identitasnya dan kepribadiannya akan berbentuk kepribadian kodian.
Sudah tentu penemuan-penemuan baru dan invensi-invensi melalui ilmu
pengetahuan akan semakin intens kerana interaksi dengan bermacam-macam budaya
akan bermacam-macam manusia yang dimiliki oleh seluruh umat manusia. Dengan
demikian, penemuan-penemuan dan invensi baru tidak lagi merupakan monopoli dari
suatu bangsa atau suatu kebudayaan tetapi lebih menjadi milik dunia. Kebudayan
dunia yang akan muncul pada milenium ketiga dengan demikian perlu diarahkan
dengan nilai-nilai moral yang telah terpelihara di dalam kebudayaan umat
manusia karena kalau tidak dapat saja manusia itu menuju kepada kehancurannya sendiri
dengan alat-alat pemusnah massal yang diciptakannya.
b. Difusi
Difusi kebudayaan berarti pembauran dan atau penyebaran budaya-budaya
tertentu antara masyarakat yang lebih maju kepada masyarakat yang lebih
tradisional. Pada dasarnya setiap masyarakat setiap jaman selalu mengalami
difusi. Hanya saja proses difusi pada jaman yang lalu lebih bersifat
perlahan-lahan. Namun hal itu berbeda dengan sekarang dimana abad komunikasi
mampu menyajikan beragam informasi yang serba cepat dan intens, maka difusi kebudayaan
akan berjalan dengan sangat cepat.
Bagaimanapun juga didalam masyarakat sederhana sekalipun proses difusi
kebudayaan dari barat tetap menyebar. Hal itu dapat dibuktikan melalui
pengamatan Margaret Mead dalam Tilaar (1999) yang meneliti masyarakat di
kepulauan pasifik.10
Beberapa waktu setelah pengamatan Mead terhadap masyarakat tersebut telah
terjadi perubahan masyarakat yang cukup berarti. Apa yang ditemukan oleh
Margaret Mead dari suatu masyarakat yang tertutup dan statis ketika beliau
kembali telah menemukan suatu masyarakat yang terbuka yang telah mengadopsi
usnur-unsur budaya Barat.
Lihat saja misalnya apa yang terjadi di negara kita, bagaimana pengaruh
Kebangkitan Nasional terhadap kehidupan suku-suku bangsa kita. Sumpah Pemuda
pada tahun 1928 telah melahirkan bahasa Indonesia sebagai bahasa kesatuan
dan/atau bahasa nasional yang notabene berasal dari bahasa Melayu, dari puak
Melayu yang hidup di pesisir Sumatera. Pengaruh bahasa Indonesia terhadap
kebudayaan di Nusantara sangat besar sampai-sampai banyak anak-anak sekarang
terutama di kota-kota besar yang tidak lagi mengenal bahasa lokalnya atau
bahasa ibu.11
Kita memerlukan suatu kebijakan pendidikan untuk memelihara bahasa ibu dari
anak-anak kita.
c. Inovasi
Inovasi mengandalkan adanya pribadi yang kreatif. Dalam setiap kebudayaan
terdapat pribadi-pribadi yang inovatif. Dalam masyarakat yang sederhana yang
relatif masih tertutup dari pengaruh kebudayaan luar, inovasi berjalan dengan
lambat. Dalam masyarakat yang terbuka kemungkinan untuk inovasi menjadi terbuka
karena didorong oleh kondisi budaya yang memungkinkan. Oleh sebab itu, di dalam
masyarakat modern pribadi yang inovatif merupakan syarat mutlak bagi
perkembangan kebudayaan. Inovasi merupakan dasar dari lahirnya suatu masyarakat
dan budaya modern di dalam dunia yang terbuka dewasa ini.
Inovasi kebudayaan di dalam bidang teknologi dewasa ini begitu cepat dan
begitu tersebar luas sehingga merupakan motor dari lahirnya suatu masyarakat
dunia yang bersatu. Di dalam kebudayaan modern pada abad teknologi dan
informasi dalam millennium ketiga, kemampuan untuk inovasi merupakan cirri dari
manusia yang dapat survive dan dapat bersaing. Persaingan di dalam dunia
modern telah merupakan suatu tuntutan oleh karena kita tidak mengenal lagi
batas-batas negara. Perdagangan bebas, dunia yang terbuka tanpa-batas,
teknologi komunikasi yang menyatukan, kehidupan cyber yang menisbikan
waktu dan ruang, menuntut manusia-manusia inovatif. Dengan sendirinya wajah
kebudayaan dunia masa depan akan lain sifatnya.
Betapa besar peranan inovasi di dalam dunia modern, menuntut peran dan
fungsi pendidikan yang luar biasa untuk melahirkan manusia-manusia yang
inovatif. Dengan kata lain, pendidikan yang tidak inovatif, yang mematikan
kreativitas generasi muda, berarti tidak memungkinkan suatu bangsa untuk
bersaing dan hidup di dalam masyarakat modern yang akan datang. Dengan
demikian, pendidikan akan menempati peranan sentral di dalam lahirnya suatu
kebudayaan dunia yang baru.
d. Visi Masa Depan
Suatu hal yang baru dalam proses pembudayaan dewasa ini ialah peranan visi
masa depan. Terutama dalam dunia global tanpa-batas dewasa ini diperlukan suatu
visi ke arah mana masyarakat dan bangsa kita akan menuju. Tanpa visi yang jelas
yaitu visi yang berdasarkan nilai-nilai yang hidup di dalam kebudayaan bangsa
(Indonesia), akan sulit untuk menentukan arah perkembangan masyarakat dan
bangsa kita ke masa depan, atau pilihan lain ialah tinggal mengadopsi saja apa
yang disebut budaya global. Mengadopsi budaya global tanpa dasar kehilangan
identitasnya. Di sinilah letak peranan pendidikan nasional untuk meletakkan
dasar-dasar yang kuat dari nilai-nilai budaya yang hidup di dalam masyarakat
Indonesia yang akan dijadikan pondasi untuk membentuk budaya masa depan yang
lebih jelas dan terarah.
D. FUNGSI PENDIDIKAN BAGI KEBUDAYAAN
Ketika kita mengagumi karya agung kemanusiaan Candi Borobudur dan
Prambanan, tersirat pemikiran bahwa di belakang karya ini tentu ada pendidikan,
pengajaran dan pelatihan yang telah tersistem dengan baik. Namun data tentang
sistem pendidikan saat itu belum ditemukan orang selain prasasti dan buah hasil
pemahatan. Pendidikan pelatihan tenaga pematung pasti diikuti disiplin tertentu
hingga dapat membuat batu tersusun rapi geometris. Patung-patung dari ujung
atas hingga bawah di Borobudur seragam bentuk dan tekniknya, padahal masa
pembuatannya memakan waktu 3 generasi dan tetap tidak ada deviasi interpretasi
seni pemahatan.
Teknologi pembuatan candi kala itu pasti merupakan teknologi garda depan di
dunia. Bahkan hingga saat inipun orang masih menobatkan sebagai keajaiban di
dunia. Andai candi-candi dibangun pada era sekarangpun tidak mudah
direalisasikan dan dengan biaya sangat besar. Pantaslah Bung Karno selalu
mengagung-agungkan betapa perkasanya bangsa di Nusantara kala itu.12
Sesuai apa yang terpahat dalam relief candi, maka pendidikan selain
diberikan secara tertulis ada juga secara lisan. Pendidikan lisan baik Hindu
maupun Budha bisa berupa dakwah pengajian pimpinan agama atau melalui dongeng,
mythos, cerita, legenda secara turun temurun. Indonesia pada tahun 1825 sudah
dikenal prajurit putri yang terdidik dan terlatih bernama Nyai Ageng Serang yang
gagah berani memimpin pasukan Pangeran Diponegoro. Materi pelajaran dalam
pendidikan tradisi di Nusantara umumnya secara lisan dan bersifat umum meliputi
antara lain perihal kejiwaan, kefilsafahan, kesusasteraan, kanuragan,
kaprajuritan, pertanian, titi mongso, pananggalan, adat-istiadat, tata krama,
perbintangan (misal gubug penceng, panjer sore). Siswa diharuskan
mondok/ngenger dalam padepokan, sedang cara pemberian pelajaran kebanyakan
dengan bahasa tutur dimana 1 siswa diasuh 1 guru.13
Padepokan, perguruan, pawiyatan, pesantren secara kontinyu telah
melaksanakan pendidikan dan menghasilkan putra terbaik. Sebut saja misalnya Ken
Arok, Trunojoyo, Untung Suropati, Sutowijoyo (Panembahan Senopati). Dalam
Kerajaan di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan lainnya juga terdapat
pendidikan yang secara sistematis diselenggarakan khusus kerabat sentana
kraton.14
Tingkatan pendidikan di keraton misalnya sasono sunu, sasono putra, sasono
putri. Dari kancah inilah lahir alumni bangsawan-negarawan Sultan Agung
Hanyakrakusuma, Pangeran Diponegoro, Pangeran Antasari, Sultan Hasanuddin,
Sultan Ternate, Pangeran Mangkubumi.
Berkat pendidikan tradisi beliau-beliau terbuka mata batinnya, merdeka
pikirannya, merdeka jiwanya dan merdeka tenaganya. Demikian pula apa yang
dialami Ki Hajar Dewantara sejak pendidikan keluarga, sekolah di Puro
Pakualaman, Pondok Pesantren Kalasan dan interaksi dengan elite pemuda
Nusantara. Literatur pendidikan tradisi menghasilkan karya agung berupa serat
Pararaton, Negara Kertagama, Sastra gending, Wulang Reh, Wedotomo.15
1. Pendidikan sebagai Sosialisasi Kebudayaan
Telah kita ketahui bersama bahwasanya pendidikan lahir seiring dengan
keberadaan manusia, bahkan dalam proses pembentukan masyarakat pendidikan ikut
andil untuk menyumbangkan proses-proses perwujudan pilar-pilar penyangga masya
rakat. Dalam hal ini, kita bisa mengingat salah satu ungkapan para tokoh
antropologi seperti Goodenough, 1971; Spradley, 1972; dan Geertz, 1973
mendefinisikan arti kebudayaan di mana kebudayaan merupakan suatu sistem
pengetahuan, gagasan dan ide yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat yang
berfungsi sebagai landasan pijak dan pedoman bagi masyarakat itu dalam bersikap
dan berperilaku dalam lingkungan alam dan sosial di tempat mereka berada
(Sairin , 2002).16
Sebagai sistem pengetahuan dan gagasan, kebudayaan yang dimiliki suatu
masyarakat merupakan kekuatan yang tidak tampak (invisble power), yang
mampu menggiring dan mengarahkan manusia pendukung kebudayaan itu untuk
bersikap dan berperilaku sesuai dengan pengetahuan dan gagasan yang menjadi
milik masyarakat tersebut, baik di bidang ekonomi, sosial, politik, kesenian
dan sebagainya. Sebagai suatu sistem, kebudayaan tidak diperoleh manusia dengan
begitu saja secara ascribed, tetapi melalui proses belajar yang
berlangsung tanpa henti, sejak dari manusia itu dilahirkan sampai dengan ajal
menjemputnya.
Proses belajar dalam konteks kebudayaan bukan hanya dalam bentuk internalisasi
dari system “pengetahuan” yang diperoleh manusia melalui pewarisan atau
transmisi dalam keluarga, lewat sistem pendidikan formal di sekolah atau
lembaga pendidikan formal lainnya, melainkan juga diperoleh melalui proses
belajar dari berinteraksi dengan lingkungan alam dan sosialnya.
Melalui
pewarisan kebudayaan dan internalisasi pada setiap individu, pendidikan hadir
dalam bentuk sosialisasi kebudayaan, berinteraksi dengan nilai-nilai masyarakat
setempat dan memelihara hubungan timbal balik yang menentukan proses-proses
perubahan tatanan sosio-kultur masyarakat dalam rangka mengembangkan kemajuan
peradabannya.
Dalam hal ini, pendidikan menjadi instrumen kekuatan social masyarakat
untuk mengembangkan suatu sistem pembinaan anggota masyarakat yang relevan
dengan tuntutan perubahan zaman. Abad globalisasi telah menyajikan nilai-nilai
baru, pengertian-pengertian baru serta perubahan-perubahan di seluruh ruang
lingkup kehidupan manusia yang waktu kedatangannya tidak bisa diduga-duga.
Sehingga dunia pendidikan merasa perlu untuk membekali diri dengan perangkat
pembelajaran yang dapat memproduk manusia zaman sesuai dengan atmosfir tuntutan
global.
Sebagai salah satu perangkat kebudayaan, pendidikan akan melakukan
tugas-tugas kelembagaan sesuai dengan hukum perkembangan masyarakat. Dari sini
dapat kita amati bersama sebuah alur pembahasan hubungan dialektik antara
pendidikan dengan realitas perkembangan sosial faktual yang saat ini tengah
menggejala pada hampir seluruh masyarakat dunia.
2. Pergulatan Manusia dalam Keanekaragaman Budaya
Semenjak awal dunia telah melakukan penelusuran hakikat asal usul dari
manusia. Seperti mengungkap kotak hitam misteri yang tak pernah ditemukan kunci
pembukanya, pemecahan seluk beluk sejarah manusia telah menyita waktu dan
pemikiran yang menimbulkan penafsiran bermacam-macam. Masing-masing pemikir
atau asumsi umum silih berganti mengajak masyarakat menjadi penganut perspektif
tersebut. Diantaranya adalah tiga asumsi besar yang hadir pada masyarakat awam
sebelum jaman
pencerahan.17
Pertama, ada yang berpendapat bahwa pada dasarnya makhluk manusia memang
diciptakan beraneka macam atau poligenesis; dan menganggap bahwa orang-orang di
Eropa yang berkulit putih merupakan makhluk manusia yang paling baik dan kuat.
Oleh karena itu, kebudayaan yang dimilikinya juga paling sempurna dan paling
tinggi. Cara berpikir yang kedua adalah yang meyakini bahwa sebenarnya makhluk
manusia itu hanya pernah diciptakan sekali saja atau monogenesis; yaitu dari
satu makhluk induk dan bahwa semua makhluk manusia di dunia ini merupakan
keturunan Adam.18
Sebagian dari mereka yang punya pandangan ini berpendapat bahwa
keanekaragaman makhluk manusia dan kebudayaannya, dari tinggi sampai rendah;
sebagai akibat proses kemunduran yang disebabkan oleh dosa abadi yang pernah
dilakukan oleh Nabi Adam. Sebaliknya, sebagian lain berpendapat bahwa
sebenarnya makhluk manusia dan kebudayaan tidak mengalami proses degenerasi.
Akan tetapi apabila pada masa kini terdapat perbedaan, lebih disebabkan oleh
tingkat kemajuan mereka yang berbeda.
Berbagai bidang kajian banyak dilakukan, termasuk upaya untuk meneliti
tentang keanekaragaman makhluk manusia dan kebudayaannya di berbagai tempat di
muka bumi. Beraneka macam kajian anatomi komparatif yang dilakukan, lebih
ditekan-kan atas dasar keanekaragaman ciri-ciri fisik manusia. Selain itu, ada
sebagai para ahli filsafat sosial di masa Aufklarung, mulai mengkaji
berbagai bentuk-bentuk masyarakat dan tingkah laku makhluk manusia. Berbagai
gejala dan tingkah laku manusia, dicoba untuk dipahami dengan mendasarkan pada
kaidah-kaidah alam.
Selama perjalanan waktu yang lama, dengan akal yang dimilikinya, makhluk
manusia semakin memiliki kemampuan menyempurnakan kebudayaan yang dimilikinya.
Setiap kali
mereka berupaya menyempurnakan dirinya, maka akan menyebabkan perubahan
kebudayaannya. Suatu perubahan kebudayaan dapat berasal dari luar lingkungan
pendukung kebudayaan tersebut. Gerak kebudayaan yang telah menimbulkan
perubahan dan perkembangan, akhirnya juga menyebabkan terjadinya pertumbuhan;
sementara itu tidak tertutup kemungkinan hilangnya unsur-unsur kebudayaan lama
sebagai akibat ditemukannya unsur-unsur kebudayaan baru. Sehingga keberadaan
pendidikan sangat penting sebagai mediator dalam dialektika kebudayaan lama
dengan kebudayaan baru yang melahirkan system kebudayaan yang memang berguna
untuk masyarakat.
3. Pendidikan sebagai Dasar Pengembangan Masyarakat Baru
Dewasa ini boleh dikatakan pendidikan telah diadopsi oleh semua negara,
baik negara berkembang maupun negara maju, dijadikan sebagai pondasi untuk
menghadapi perubahan-perubahan besar di dalam kehidupan masyarakat dalam
millennium ketiga. Hal ini dapat terbayang di dalam investasi pendidikan dari
negara-negara tersebut. Pendidikan telah dijadikan prioritas utama dan pertama
dari banyak negara untuk dijadikan sebagai pondasi membangun masyarakat yang
lebih demokratis, terbuka bagi perubahan-perubahan global dan menghadapi
masyarakat digital. Boleh dikatakan semua negara memberikan prioritas utama
kepada pengembangan pendidikan yang tercermin di dalam alokasi dana pemerintah.
Sejalan dengan arah baru mengenai pendidikan di dalam pengembangan suatu
masyarakat, maka ilmu pendidikan juga mempunyai orientasi baru.
a. Arah Baru Pedagogik
Di dalam perkembangannya, pedagogik terbatas kepada masalah-masalah
mikro pendidikan, seperti perkembangan anak, proses belajar dan pembelajaran,
fasilitas pendidikan, biaya pendidikan, manajemen pendidikan dan sebagainya. Di
dalam perkembangannya dewasa ini, pedagogik ternyata tidak terlepas dari
perubahan-perubahan sosial, politik dan ekonomi. Telah kita lihat, betapa
perubahan pola-pola kehidupan masyarakat manusia dewasa ini yang semakin
terbuka. Kehidupan politik yang semakin didominasi oleh gerakan demokratisasi.
Hak-hak asasi manusia semakin menonjol di dalam setiap pemerintahan dan di
dalam organisasi-organisasi dunia. Semuanya mengakui betapa besar peranan
pendidikan di dalam membangun masyarakat
dunia baru.
Indonesia telah mulai menunjukkan gejala-gejala yang positif
memprioritaskan pendidikan di dalam proses pembangunan masyarakat Indonesia
baru di dalam APBN dan APBD yang akan datang. Perubahan-perubahan sosial
tersebut di atas telah membawa kepada suatu keperluan untuk memberikan
orientasi baru terhadap pedagogik. Pedagogik bukan sekadar mencermati
perkembangan anak sejak lahir sampai dewasa, atau mengenai proses pendidikan
orang dewasa, atau menyimak mengenai proses belajar dan pembelajaran, tetapi
lebih luas daripada itu, yaitu menempatkan perkembangan dan kehidupan manusia
di dalam tetanan kehidupan global.19
Dengan demikian, pedagogik bukan hanya terbatas kepada ilmu mendidik dalam
arti sempit, atau sekadar aplikasi ilmu jiwa pendidikan, tetapi juga membahas
mengenai keberadaan manusia di dalam kebersamaan hidup yang mengglobal bagi
umat manusia. Pedagogik merupakan bagian dari perubahan politik, bagian dari
perubahan sosial dan juga bagian dari perubahan ekonomi, bukan hanya perubahan
ekonomi bagi negara-negara maju, tetapi juga ekonomi yang dihadapi oleh
kebanyakan negara berkembang yakni pemberantasan kemiskinan.
Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila investasi di dalam pendidikan
dan pelatihan merupakan agenda paling urgen di dunia dewasa ini.
Masalah-masalah pemberdayaan, partisipasi masyarakat, perencanaan dari bawah,
perbaikan gizi, pengembangan civil society, pengembangan sikap toleransi
antarbangsa, antaragama, antara lapisan kehidupan sosial ekonomi, antaretnis, multicultural
education, merupakan topik-topik hangat di dalam pedagogik arah baru.
b. Pendidikan, Ekonomi, Politik, dan Kebudayaan
Pedagogik orientasi baru tersebut di atas, menunjukkan keterkaitan yang
erat antara pedagogik dengan pertumbuhan ekonomi serta pertumbuhan politik.
Demikian selanjutnya, pedagogik tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan di mana
pendidikan itu
merupakan
bagian dari padanya. Kebudayaan merupakan sarana, bahkan jiwa dari kohesi
sosial dari suatu masyarakat. Tanpa kohesi sosial tidak mungkin lahirnya proses
pendidikan. Oleh sebab itu, pendidikan dan kebudayaan merupakan dua sisi dari
mata uang yang sama. Mengisolasikan pendidikan dari kebudayaan berarti melihat
proses pendidikan di dalam ruang hampa.
Pakar-pakar ekonomi juga pakar-pakar kebudayaan dan politik melihat betapa
pendidikan merupakan aspek yang sangat strategis di dalam menyiapkan suatu tata
kehidupan manusia yang baru. Demikianlah kita melihat bagaimana peranan
pendidikan di dalam menata suatu masyarakat baru. Masyarakat baru yang
berdasarkan paradigma baru, akan dapat dipersiapkan melalui proses pendidikan.
Tidak berlebihan kiranya apabila pendidikan dewasa ini, seluruh dunia dianggap
sebagai pondasi dari membangun masyarakat dunia baru.20
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraian
makalah di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Kebudayaan merupakan hasil perolehan manusia selama menjalin interaksi kehidupan baik dengan lingkungan fisik maupun non fisik yang melahirkan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia sebagai hasil pembelajaran manusia dengan alam untuk mengelola keadaan menjadi sesuatu yang berguna bagi kehidupannya.
2. Pendidikan berperanan sebagai agen pengajaran nilai-nilai budaya dalam proses pembentukan kualitas manusia sesuai dengan kodrat budaya yang dimiliki. Dan kebudayaan diturunkan kepada generasi penerusnya lewat proses pendidikan.
3. Di dalam proses pembudayaan terdapat unsur-unsur pendidikan seperti inovasi dan penemuan, difusi kebudayaan, akulturasi, asimilasi, inovasi, dan prediksi masa depan atas kebudayaan yang lahir dari proses pendidikan.
4. Pendidikan menjadi instrumen kekuatan social masyarakat untuk mengembangkan suatu sistem pembinaan anggota masyarakat dalan kebudayaan yang relevan dengan tuntutan perubahan zaman.
5. Pendidikan hadir dalam bentuk sosialisasi kebudayaan, berinteraksi dengan nilai-nilai masyarakat setempat dan memelihara hubungan timbal balik yang menentukan proses-proses perubahan tatanan sosio-kultur masyarakat dalam rangka mengembangkan kemajuan peradabannya.
1. Kebudayaan merupakan hasil perolehan manusia selama menjalin interaksi kehidupan baik dengan lingkungan fisik maupun non fisik yang melahirkan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia sebagai hasil pembelajaran manusia dengan alam untuk mengelola keadaan menjadi sesuatu yang berguna bagi kehidupannya.
2. Pendidikan berperanan sebagai agen pengajaran nilai-nilai budaya dalam proses pembentukan kualitas manusia sesuai dengan kodrat budaya yang dimiliki. Dan kebudayaan diturunkan kepada generasi penerusnya lewat proses pendidikan.
3. Di dalam proses pembudayaan terdapat unsur-unsur pendidikan seperti inovasi dan penemuan, difusi kebudayaan, akulturasi, asimilasi, inovasi, dan prediksi masa depan atas kebudayaan yang lahir dari proses pendidikan.
4. Pendidikan menjadi instrumen kekuatan social masyarakat untuk mengembangkan suatu sistem pembinaan anggota masyarakat dalan kebudayaan yang relevan dengan tuntutan perubahan zaman.
5. Pendidikan hadir dalam bentuk sosialisasi kebudayaan, berinteraksi dengan nilai-nilai masyarakat setempat dan memelihara hubungan timbal balik yang menentukan proses-proses perubahan tatanan sosio-kultur masyarakat dalam rangka mengembangkan kemajuan peradabannya.
B. SARAN
Adapun saran
saya sebagai penyusun makalah ini yaitu:
1. Kita sebagai generasi bangsa Indonesia yang kaya akan budaya, sepatutnya kita mempertahankan budaya lama yang baik sebagai warisan kebudayaan luhur menjadi karakteristik bangsa kita.
2. kita kembangkan pendidikan kita yang sesuai dengan kebudayaan bangsa untuk meraih kebudayaan dan peradaban yang cemerlang.
1. Kita sebagai generasi bangsa Indonesia yang kaya akan budaya, sepatutnya kita mempertahankan budaya lama yang baik sebagai warisan kebudayaan luhur menjadi karakteristik bangsa kita.
2. kita kembangkan pendidikan kita yang sesuai dengan kebudayaan bangsa untuk meraih kebudayaan dan peradaban yang cemerlang.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. H.A.R. Tilaar .2000. ”Pendidikan,
Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia”, Jakarta: PT. Rosda Karya
S. Nasution. 2001. “Sejarah
Pendidikan Indonesia” Jakarta: Bumi Aksara
Poerwanto.
2000. “Periodesasi Kebudayaan dan Peradaban Umat Manusia” Jakarta: Graha
Ilmu.
S. Nasution. 2004. “Sosiologi
Pendidikan”, Bandung: bumi Aksara
Abu Ahmadi. 2004. “Sosiologi
Pendidikan” Jakarta: Rineka Cipta
Syamsul Nizar Prenada. 2008.
“Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era
Rasullulah Sampai Indonesia”. Jakarta: Media Group
http://tamansiswa.org/magazine/pijar/menelusuri--sejarah--pendidikan-di-indonesia.html
http://istpi.wordpress.com/2008/06/01/paradigma-pendidikan-masa-depan/
http://www.untag-sby.ac.id/index.php?mod=berita&id=38
http://www.docstoc.com/docs/22044099/Bab-VIII-PENDIDIKAN-DAN-PERUBAHAN-SOSIAL-BUDAYA/
http://giuslay.wordpress.com/2009/01/30/sejarah-pendidikan-dari-yunani-kuno-sd-4-abad-pertama-kekristenan/
2 ). Drs.
Atang Abd. Hakim, MA dan Dr. Zaih Mubarok. 1999. “Metodologi Studi Islam”
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hal 27-28.
3 http://giuslay.wordpress.com/2009/01/30/sejarah-pendidikan-dari-yunani-kuno-sd-4-abad-pertama-kekristenan/
Jakarta: PT. Rosda Karya
Jakarta: PT. Rosda Karya
18 Syamsul
Nizar Prenada. 2008. “Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah
Pendidikan Era Rasullulah Sampai Indonesia”. Jakarta: Media Group
23
http://www.4shared.com/office/P_wPsf7o/file.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar