Rabu, 30 Mei 2012

Pendidikan Dalam Kebudayaan



BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH
Manusia dan kebudayaan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, sementara itu pendukung kebudayaan adalah makhluk manusia itu sendiri. Sekalipun makhluk manusia akan mati, tetapi kebudayaan yang dimilikinya akan diwariskan pada keturunannya, demikian seterusnya. Pewarisan kebudayaan makhluk manusia, tidak selalu terjadi secara vertikal atau kepada anak-cucu mereka; melainkan dapat pula secara horisontal yaitu manusia yang satu dapat belajar kebudayaan dari manusia lainnya. Berbagai pengalaman makhluk manusia dalam rangka kebudayaannya, diteruskan dan dikomunikasikan kepada generasi berikutnya oleh indiividu lain. Berbagai gagasannya dapat dikomunikasikannya kepada orang lain karena ia mampu mengembangkan gagasan-gagasannya itu dalam bentuk lambang-lambang vokal berupa bahasa, baik lisan maupun tertulis.
Kebudayaan mengenal ruang dan tempat tumbuh kembangnya, dengan mengalami perubahan, penambahan dan pengurangan. Manusia tidak berada pada dua tempat atau ruang sekaligus, ia hanya dapat pindah ke ruang lain pada masa lain. Pergerakan ini telah berakibat pada persebaran kebudayaan, dari masa ke masa, dan dari satu tempat ke tempat lain. Sebagai akibatnya di berbagai tempat dan waktu yang berlainan, dimungkinkan adanya unsur-unsur persamaan di samping perbedaan-perbedaan. Oleh karena itu di luar masanya, suatu kebudayaan dapat dipandang ketinggalan zaman (anakronistik), dan di luar tempatnya dipandang asing atau janggal.
Peneliti Sosial, Department of Anthropology University of Sussex, United Kingdom mendefinisikan masyarakat sebagai suatu kumpulan individu yang memiliki karakteristik khas dengan aneka ragam etnik, ras, budaya, dan agama.1 Setiap kelompok masyarakat mempunyai pola hidup berlainan, bahkan orientasi dalam menjalani kehidupan pun tidak sama. Sebagai suatu unit sosial, setiap kelompok masyarakat saling berinteraksi yang memungkinkan terjadinya pertukaran budaya. Dalam proses interaksi itu, setiap kelompok masyarakat saling mempelajari, menyerap, dan mengadopsi budaya kelompok masyarakat lain yang kemudian melahirkan sintesis budaya baru. Dalam kajian antropologi, ada tiga istilah untuk menjelaskan peristiwa interaksi sosial budaya, yakni sosialisasi, akulturasi, dan enkulturasi. Ketiganya saling terkait, namun masih tetap bisa dibedakan antara satu dan yang lain.
Dapat dikatakan, sistem persekolahan adalah salah satu pilar penting yang menjadi riang penyangga sistem sosial yang lebih besar dalam suatu tatanan kehidupan masyarakat, untuk mewujudkan cita-cita kolektif. Maka, pendidikan yang diselenggarakan melalui-meskipun tidak hanya terbatas pada-sistem persekolahan semestinya dimaknai sebagai sebuah strategi kebudayaan (lihat artikel Media Indonesia, 9/11/2009). Dalam hal ini, pendidikan merupakan medium transformasi nilai-nilai budaya, penguatan ikatan-ikatan sosial antarwarga masyarakat, dan pengembangan ilmu pengetahuan untuk mengukuhkan peradaban umat manusia.
Dimulai dari pembahasan tentang suatu pernyataan hipotetis bahwa berbagai persoalan di masyarakat seperti pengangguran, tidak dapat dilepaskan dari keberadaan sistem pendidikan yang tidak "pas" dengan budaya Indonesia. Untuk menemukan pendidikan yang berakar budaya bangsa perlu dilaksanakan penajaman penelitian pendidikan. Namun dalam mencari pendidikan yang berakar pada budaya bangsa tidak berarti bahwa pendidikan harus bersifat ekslusif. Hal ini bertentangan dengan realitas globalisasi. Oleh karena itu, pencarian pendidikan yang berakar pada budaya bangsa harus pula memahami karekteristik pendidikan modern, bisa dileburkan pendidikan modern kedalam kearifan budaya lokal.
Dalam melestarikan khazanah budaya Indonesia yang kaya diperlukan kontribusi pendidikan untuk menjaga keberlangsungan budaya tersebut. Pendidikan yang terbentuk bisa kita namakan pendidikan yang berlandaskan budaya atau pendidikan yang responsif terhadap kebudayaan. Akan tetapi di sisi lain model pendidikan kontemporer harus tetap diadopsi untuk menjamin kompetisi pendidikan. Sehingga pendidikan yang terbentuk yaitu kolaborasi antara kebudayaan dan modernisasi sistem pendidikan.
Namun yang menjadi persoalan penting yaitu memastikan fungsi pendidikan bagi keberlangsungan budaya, menjaga budaya, dan mengembangkan budaya manusia untuk kemajuan peradaban manusia. Sedangkan fungsi pendidikan untuk menyambut modernitas itu akan berkembang dengan sendirinya seiring dengan bertambahnya waktu dan berkembnagnya kebudayaan manusia. Oleh karena itu untuk mengetahui fungsi pendidikan dalam kebudayaan yaitu dengan memahami peran penting pendidikan bagi perkembangan budaya. Pendidiakan sebagi pilar kebudayaan dan dari kebudayaan yang terbentuk itulah nanti akan mengembangkan pendidikan bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.

B. RUMUSAN MASALAH
Dalam mengidentifikasi fungsi pendidikan dalam kebudayaan muncul beberapa pertanyaan terkait, yaitu:  
1. Apa arti kebudayaan?  
2. Bagaimana makna pendidikan berdasarkan kebudayaan?  
3. Bagaimana hubungan antara pendidikan dan kebudayaan?  
4. Seperti apa fungsi pendidikan bagi kebudayaan?


BAB II
PEMBAHASAN

A. ARTI KEBUDAYAAN
Selo Soemardjan dan Soelaman Soemardi (1964: 113) menjelaskan bahwa kebudayaaan adalah semua hasil karya. rasa, dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan tekhnologi dan kebudayaan kebendaan (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat.
Rasa yang meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah-kaidah dan nilai-nilai social yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan yang luas. Agama, ideology, kebatinan dan kesenian yang merupakan hasil ekspresi jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat termasuk di dalamnya. Cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berfikir orang-orang yang hidup bermasyarakat yang antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan. Rasa dan cinta dinamakan pula kebudayaan rohaniah (spiritual atau immaterial culture). Semua karya, rasa, dan cipta, dikuasai oleh karsa orang-orang yang menentukan kegunaannya agar sesuai dengan kepentingan sebagian besar atau seluruh masyarakat, sedangkan karsa yaitu mengasilkan kaidah kepercayaan, kesusilaan, kesopanan dan hukum (Soerjono Soekanto, 1993: 189-90).2

read more....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar