BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Manusia dan kebudayaan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan,
sementara itu pendukung kebudayaan adalah makhluk manusia itu sendiri.
Sekalipun makhluk manusia akan mati, tetapi kebudayaan yang dimilikinya akan
diwariskan pada keturunannya, demikian seterusnya. Pewarisan kebudayaan makhluk
manusia, tidak selalu terjadi secara vertikal atau kepada anak-cucu mereka;
melainkan dapat pula secara horisontal yaitu manusia yang satu dapat belajar
kebudayaan dari manusia lainnya. Berbagai pengalaman makhluk manusia dalam
rangka kebudayaannya, diteruskan dan dikomunikasikan kepada generasi berikutnya
oleh indiividu lain. Berbagai gagasannya dapat dikomunikasikannya kepada orang
lain karena ia mampu mengembangkan gagasan-gagasannya itu dalam bentuk
lambang-lambang vokal berupa bahasa, baik lisan maupun tertulis.
Kebudayaan mengenal ruang dan tempat tumbuh kembangnya, dengan mengalami
perubahan, penambahan dan pengurangan. Manusia tidak berada pada dua tempat
atau ruang sekaligus, ia hanya dapat pindah ke ruang lain pada masa lain.
Pergerakan ini telah berakibat pada persebaran kebudayaan, dari masa ke masa,
dan dari satu tempat ke tempat lain. Sebagai akibatnya di berbagai tempat dan
waktu yang berlainan, dimungkinkan adanya unsur-unsur persamaan di samping perbedaan-perbedaan.
Oleh karena itu di luar masanya, suatu kebudayaan dapat dipandang ketinggalan
zaman (anakronistik), dan di luar tempatnya dipandang asing atau janggal.
Peneliti Sosial, Department of Anthropology University of Sussex, United
Kingdom mendefinisikan masyarakat sebagai suatu kumpulan individu yang memiliki
karakteristik khas dengan aneka ragam etnik, ras, budaya, dan agama.1
Setiap kelompok masyarakat mempunyai pola hidup berlainan, bahkan orientasi
dalam menjalani kehidupan pun tidak sama. Sebagai suatu unit sosial, setiap
kelompok masyarakat saling berinteraksi yang memungkinkan terjadinya pertukaran
budaya. Dalam proses interaksi itu, setiap kelompok masyarakat saling
mempelajari, menyerap, dan mengadopsi budaya kelompok masyarakat lain yang
kemudian melahirkan sintesis budaya baru. Dalam kajian antropologi, ada tiga
istilah untuk menjelaskan peristiwa interaksi sosial budaya, yakni sosialisasi,
akulturasi, dan enkulturasi. Ketiganya saling terkait, namun masih tetap bisa
dibedakan antara satu dan yang lain.
Dapat dikatakan, sistem persekolahan adalah salah satu pilar penting yang
menjadi riang penyangga sistem sosial yang lebih besar dalam suatu tatanan kehidupan
masyarakat, untuk mewujudkan cita-cita kolektif. Maka, pendidikan yang
diselenggarakan melalui-meskipun tidak hanya terbatas pada-sistem persekolahan
semestinya dimaknai sebagai sebuah strategi kebudayaan (lihat artikel Media
Indonesia, 9/11/2009). Dalam hal ini, pendidikan merupakan medium transformasi
nilai-nilai budaya, penguatan ikatan-ikatan sosial antarwarga masyarakat, dan
pengembangan ilmu pengetahuan untuk mengukuhkan peradaban umat manusia.
Dimulai dari pembahasan tentang suatu pernyataan hipotetis bahwa berbagai
persoalan di masyarakat seperti pengangguran, tidak dapat dilepaskan dari
keberadaan sistem pendidikan yang tidak "pas" dengan budaya
Indonesia. Untuk menemukan pendidikan yang berakar budaya bangsa perlu
dilaksanakan penajaman penelitian pendidikan. Namun dalam mencari pendidikan
yang berakar pada budaya bangsa tidak berarti bahwa pendidikan harus bersifat
ekslusif. Hal ini bertentangan dengan realitas globalisasi. Oleh karena itu,
pencarian pendidikan yang berakar pada budaya bangsa harus pula memahami
karekteristik pendidikan modern, bisa dileburkan pendidikan modern kedalam
kearifan budaya lokal.
Dalam melestarikan khazanah budaya Indonesia yang kaya diperlukan
kontribusi pendidikan untuk menjaga keberlangsungan budaya tersebut. Pendidikan
yang terbentuk bisa kita namakan pendidikan yang berlandaskan budaya atau
pendidikan yang responsif terhadap kebudayaan. Akan tetapi di sisi lain model
pendidikan kontemporer harus tetap diadopsi untuk menjamin kompetisi
pendidikan. Sehingga pendidikan yang terbentuk yaitu kolaborasi antara
kebudayaan dan modernisasi sistem pendidikan.
Namun yang menjadi persoalan penting yaitu memastikan fungsi pendidikan
bagi keberlangsungan budaya, menjaga budaya, dan mengembangkan budaya manusia
untuk kemajuan peradaban manusia. Sedangkan fungsi pendidikan untuk menyambut
modernitas itu akan berkembang dengan sendirinya seiring dengan bertambahnya
waktu dan berkembnagnya kebudayaan manusia. Oleh karena itu untuk mengetahui
fungsi pendidikan dalam kebudayaan yaitu dengan memahami peran penting
pendidikan bagi perkembangan budaya. Pendidiakan sebagi pilar kebudayaan dan
dari kebudayaan yang terbentuk itulah nanti akan mengembangkan pendidikan bagi
kesejahteraan rakyat Indonesia.
B. RUMUSAN MASALAH
Dalam mengidentifikasi
fungsi pendidikan dalam kebudayaan muncul beberapa pertanyaan terkait, yaitu:
1. Apa
arti kebudayaan?
2. Bagaimana
makna pendidikan berdasarkan kebudayaan?
3. Bagaimana
hubungan antara pendidikan dan kebudayaan?
4. Seperti
apa fungsi pendidikan bagi kebudayaan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. ARTI KEBUDAYAAN
Selo
Soemardjan dan Soelaman Soemardi (1964: 113) menjelaskan bahwa kebudayaaan
adalah semua hasil karya. rasa, dan cipta masyarakat. Karya masyarakat
menghasilkan tekhnologi dan kebudayaan kebendaan (material culture) yang
diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta
hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat.
Rasa yang meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah-kaidah dan
nilai-nilai social yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan
yang luas. Agama, ideology, kebatinan dan kesenian yang merupakan hasil
ekspresi jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat termasuk di
dalamnya. Cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berfikir orang-orang yang
hidup bermasyarakat yang antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu
pengetahuan. Rasa dan cinta dinamakan pula kebudayaan rohaniah (spiritual atau
immaterial culture). Semua karya, rasa, dan cipta, dikuasai oleh karsa
orang-orang yang menentukan kegunaannya agar sesuai dengan kepentingan sebagian
besar atau seluruh masyarakat, sedangkan karsa yaitu mengasilkan kaidah
kepercayaan, kesusilaan, kesopanan dan hukum (Soerjono Soekanto, 1993: 189-90).2
read more....